Hukum Perkawinan Indonesia mengatur bahwa ayah biologis berhak menjadi wali nikah bagi anak yang lahir kurang dari enam bulan usia perkawinan orang tuanya. Faktanya, Kantor Urusan Agama (KUA) Idi Rayeuk memberikan kewenangan kepada wali hakim untuk menggantikan kedudukan ayah kandung untuk menikahkan anak perempuannya. Artikel ini bertujuan untuk mengetahui bagaimana Hukum Perkawinan Indonesia dan hukum Islam dikompromikan dan dinegosiasikan di KUA Idi Rayeuk dalam penetapan wali nikah bagi anak yang lahir kurang dari enam bulan usia perkawinan orang tuanya. Penelitian ini merupakan penelitian normatif-empiris dengan menjadikan wawancara dan dokumentasi yang dikumpulkan selama Juli-Desember 2019 sebagai sumber datanya. Hasil penelitian menunjukkan bahwa penetapan wali hakim di KUA Idi Rayeuk bagi perempuan yang lahir kurang dari enam bulan usia perkawinan orang tuanya merupakan hasil dari kompromi dan negosiasi antara hukum positif dengan hukum Islam, khususnya fikih Syafi’i. KUA Idi Rayeuk dan tokoh agama sepakat menggunakan fikih Syafi’i untuk menunjuk wali hakim sebagai wali nikah bagi anak yang lahir kurang dari enam bulan usia perkawinan orang tuanya. Hasil dari negosiasi tersebut ialah praktik pernikahan yang diberikan ke wali hakim sesuai dengan praktik penghulu mewakilkan wali nasab dalam perkawinan (wakilah wali) dan tidak dicantumkan nama wali hakim dalam dokumen-dokumen yang berkaitan dengan pernikahan tersebut.
CITATION STYLE
Fadli, F., & Juliandi, B. (2021). Negosiasi antara Hukum Positif dengan Hukum Islam: Penetapan Wali Nikah di Kantor Urusan Agama Idi Rayeuk, Aceh, Indonesia. JIL: Journal of Islamic Law, 2(2), 268–283. https://doi.org/10.24260/jil.v2i2.329
Mendeley helps you to discover research relevant for your work.