Sabdaraja yang disampaikan oleh Sultan Hamengkubuwono X mengungkapkan bahwa putri sulungnya akan diangkat menjadi penerus tahta kraton Yogyakarta. Hal ini menimbulkan ketegangan antara sultan Hamengkubuwono X dengan adik-adiknya. Semua ini dikemas dalam praktik komunikasi budaya konteks tinggi yang tidak mudah diterjemahkan masyarakat awam. Fokus tulisan ini adalah menggambarkan pemakanaan masyarakat Yogyakarta terkait sabdaraja dan segala hal yang berkaitan dengan struktur kekuasaan dan budaya yang melingkupinya. Menggunakan strategi fenomenologi dengan paradigma kritis, data digali dengan melakukan wawancara mendalam dan observasi pada enam orang yang dianggap memahami konteks permasalahan ini di Yogyakarta. Hasil penelitian menunjukkan bahwa praktik komunikasi keluarga kraton merupakan bagian dari budaya konteks tinggi yang agak sulit dimakanai orang awam. Posisi sebagai pemimpin memberikan keuntungan secara politik dan ekonomi sehingga menimbulkan kontestasi dan ketegangan. Hal ini nampak dalam bisnis keluarga keraton dan pajak tanah yang diterima. Hal ini akan terus dilanggengkan melalui struktur budaya yang ada. Pemimpin tidak lagi berusaha melayani saat ini melainkan cenderung dilayani. Masyarakat dianggap tidak memiliki kepekaan dan tatanan kritis sehingga menerima tafsir strukturasi kekuasaan dengan terbuka karena dogma seorang Raja. Hal ini merupakan kekuatan yang dimainkan aktor sosial dalam realitas budaya, karena masyarakat sejatinya menghendaki sebuah wacana yang terbuka, arif dan bijak mengikuti elemen rasionalitas sekaligus kesadaran atas peran pemimpin bagi rakyatnya.
CITATION STYLE
Choiriyati, W. (2017). Suksesi Kepemimpinan Kraton Ngayogyakarta dalam Dualitas Struktur. Jurnal Ilmu Komunikasi, 15(1), 73. https://doi.org/10.31315/jik.v15i1.2156
Mendeley helps you to discover research relevant for your work.