Islam menganjurkan untuk upaya saling (ishlah) damai apabila terjadi persengketaan dengan mendatangkan perantara (hakam) atau mediator manakala terjadi persengketaan di dalam rumah tangga. Mediasi tidak hanya dilakukan secara integral di Pengadilan Agama, Mahkamah Agung dapat membuka pintu mediasi di luar Peradilan Agama melalui optimalisasi peran BP4 dan mendirikan lembaga-lembaga mediasi yang terakreditasi oleh Mahkamah Agung. Perguruan Tinggi Agama Islam khususnya Fakultas Syari’ah dan Hukum dapat ditunjuk sebagai lembaga yang kompeten menangani mediasi, baik mediator maupun lembaga penyelenggara pelatihan. Lembaga mediasi dapat pula berdiri di Pesantren-pesantren. Para ulama dan kyai dapat berperan sebagai mediator bagi para pihak yang memilik sengketa keperdataan. Keterlibatan ulama dan kyai menjadi mediator didasarkan atas pendapat para ulama tafsir yang mensyaratkan bahwa seorang juru damai (mediator) memiliki beberapa syarat, diantaranya Khauf, Taqwa, Faqih dan juga faham terhadap masalah yang sedang disengketakan. Para kyai dan ulama adalah sosok yang dipandang memiliki kualifikasi tersebut dan kharisma yang mampu bisa mempengaruhi para pihak yang bertikai. Keberadaan seorang kyai bisa menjadi perantara untuk mendamaikan pihak-pihak yang bersengketa sejalan dengan jaran Islam, dengan mengadukan masalah kepada kyai. Selain itu permusuhan kedua belah pihak menjadi lebih berkurang. Hal ini lebih baik dan ringan daripada perkara sampai ke Pengadilan dan diputus dengan suatu putusan, karena biasanya pihak tergugat dikalahkan didalam pelaksanaan putusan yang harus dilaksanakan secara terpaksa.1
CITATION STYLE
Bahri, S. (2020). Peran Kyai Dalam Mediasi Untuk Penyelesaian Konflik Pasca Pernikahan Dini Di Madura. Al-Manhaj: Journal of Indonesian Islamic Family Law, 2(1), 18. https://doi.org/10.19105/al-manhaj.v2i1.3419
Mendeley helps you to discover research relevant for your work.