Konferensi Pers Dan Operasi Tangkap Tangan Sebagai Dominasi Simbolik: Membongkar Kesesatan Berpikir Dalam Penegakan Hukum Pidana

  • Marbun R
N/ACitations
Citations of this article
21Readers
Mendeley users who have this article in their library.

Abstract

Proses penegakan hukum pidana di Indonesia, kerapkali menggunakan suatu instrumen sosial melalui media massa guna melakukan social framing sebagai wujud dari pola kinerja dari institusi penegak hukum sebagai wujud pelaksanaan fungsi pemerintahan. Penggunaan instrumen sosial berupa konferensi pers dalam mempertontonkan dari hasil operasi tangkap tangan (OTT)—misalnya, oleh Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) diandaikan begitu saja sebagai bagian dari upaya melakukan keterbukaan informasi publik, tanpa adanya instrumen hukum untuk menguji adanya dugaan pelanggaran Hak Asasi Manusia (HAM) dan keterlanggaran asas praduga tak bersalah. Penelitian ini menjadi penting untuk mengkaji secara ilmiah proses social framing tersebut guna menunjukan adanya kesesatan berpikir ( fallacy) dalam proses penegakan hukum. Oleh karena itu, patutlah diajukan suatu perumusan masalah “Aspek kepentingan apakah yang mendasari kegiatan konferensi pers dan operasi tangkap tangan tersebut melalui perspektif analisis wacana kritis dan trikotomi relasi?” Penelitian fokus untuk membongkar aspek ideologis (kepentingan) dari tindakan dan/atau keputusan hukum dalam menjalankan fungsi penegakan hukum. Hasil dari penelitian ini menunjukan adanya upaya melakukan social framing melalui dominasi simbolik berupa tindakan konferensi pers dan operasi tangkap tangan (OTT) sebagai reaksi atas social complaint berkaitan dengan penurunan pelemahan institusi KPK pasca amandemen. The process of enforcing criminal law in Indonesia often uses a social instrument through mass media to carry out social framing as a manifestation of the performance pattern of law enforcement institutions as a form of implementing government functions. The use of social instruments in the form of press conferences in showing the results of the red-handed operation ( RHO )—for example, by the Corruption Eradication Commission (CEC) is assumed to be part of an effort to disclose public information, without any legal instruments to test for alleged violations of human rights and violations of the presumption of innocence. This research is important to examine scientifically the social framing process in order to show the existence of a fallacy in the law enforcement process. Therefore, it is appropriate to propose a formulation of the problem “What are the aspects of interest that underlie the press conference activities and the red-handed operation ( RHO ) from the perspective of critical discourse analysis (CDA) and relationship trichotomy?” The research focuses on dismantling the ideological aspects (interests) of legal actions and/or decisions in carrying out law enforcement functions. The results of this study indicate that there are efforts to carry out social framing through symbolic domination in the form of press conferences and red handed operation ( RHO ) as a reaction to social complaints related to the decline in the weakening of the KPK institution after the amendment

Cite

CITATION STYLE

APA

Marbun, R. (2022). Konferensi Pers Dan Operasi Tangkap Tangan Sebagai Dominasi Simbolik: Membongkar Kesesatan Berpikir Dalam Penegakan Hukum Pidana. Jurnal Ius Constituendum, 7(1), 1. https://doi.org/10.26623/jic.v7i1.4797

Register to see more suggestions

Mendeley helps you to discover research relevant for your work.

Already have an account?

Save time finding and organizing research with Mendeley

Sign up for free