Selama masa pandemi COVID-19, tak jarang kita menyaksikan tampilnya karakteristik suka menolong pada manusia. Dalam komunitas luring mau-pun daring, berbagai aktivitas memberikan bantuan dan ajakan untuk memberikan bantuan ditam-pilkan, mulai dari memberikan donasi, membagi bahan-bahan makanan pokok, melibatkan diri dalam satuan tugas membantu para penderita COVID-19, hingga menjadi sukarelawan di rumah sakit. Ini menggugah para peneliti psikologi, termasuk ahli psikologi sosial, untuk mencari tahu lebih jauh mengenai gejala tingkah laku menolong, atau lebih luas lagi, tingkah laku prososial. Dalam beberapa diskusi muncul pertanyaan, “apakah perilaku prososial dapat dipertahankan atau berlanjut setelah pandemi COVID-19?” Penelitian mengenai tingkah laku proso-sial sudah cukup lama dilakukan dalam psikologi kepribadian dan sosial. Banyak peneliti sudah ber-usaha mengeksplorasi mengapa orang membantu orang lain dengan mengorbankan diri sendiri yang berguna untuk kepentingan masyarakat. Fenomena ini telah dijelaskan menggunakan berbagai kerang-ka disiplin ilmu termasuk psikologi, ekonomi, an-tropologi, biologi, dan filsafat. Proyek penelitian kepribadian skala besar yang paling awal yang dilakukan di Amerika Serikat adalah Studies in the Nature of Character oleh Hartshorne dan May pada 1928 yang diikuti oleh volume berikutnya pada tahun 1929 dan 1930. Hartshorne dan May (1928) berusaha untuk menentukan apakah kecenderung-an anak-anak untuk terlibat dalam perilaku proso-sial, seperti suka menolong, jujur, dan pengendali-an diri disebabkan oleh karakteristik pribadi yang bertahan atau merupakan hasil dari batasan dan tuntutan situasional tertentu. Studi itu melaporkan korelasi sederhana di berbagai ukuran perilaku prososial mereka dan menyimpulkan bahwa tin-dakan prososial sebagian besar ditentukan secara situasional (Hartshorne dan May, 1928). Ada banyak bantahan terhadap kesimpulan itu (di antaranya, Rushton, 1981). Namun, perspektif "situasionist" mendominasi penelitian tentang penyebab tindakan prososial setidaknya sampai tahun 1970-an. Di dekade 1970-an, biolog Edward O. Wilson memulai bidang baru, sosiobiologi, untuk mempelajari tingkah laku sosial hewan dan manusia (Wilson, 1975). Dalam bukunya itu, dikemukakan ada bukti bahwa tindakan sukarela yang menguntungkan orang lain berakar pada tingkah laku manusia dan hewan. Sejak itu, banyak studi dilakukan dan hasilnya diterbitkan dalam bentuk buku dan artikel yang intinya menyatakan bahwa tingkah laku membantu, bahkan menyelamatkan, adalah bawaan dari primata, lebah penolong, semut, anjing liar, dan spesies lainnya. Beberapa ahli psikologi perkembangan, juga ilmuwan sosial lainnya, mencermati dunia hewan dan menunjuk berbagai gejala di sana sebagai bukti bahwa tingkah laku prososial adalah fungsi biologis manusia yang telah terprogram dan bukan hanya tindakan yang dipupuk atau dipelajari. Pendekatan Wilson sejalan dengan pendekatan J.P. Rushton tentang altruisme dan tingkah laku prososial. Selama 40 tahun terakhir masa hidupnya, Rushton meneliti gejala itu. Ia mengubah pendekatan teoritisnya dari teori pembelajaran sosial menjadi teori sifat, lalu menjadi sosiobiologi. Pada akhirnya, ia menyatakan ada pengaruh fondasi genetik dari tingkah laku prososial dan altruisme (Rushton, 1980, 1989, 1991, 2004, 2009). Studinya tentang tingkah laku prososial anak kembar menggunakan kelompok usia yang berbeda dari sampel barat dan Asia memberi kesimpulan bahwa sekitar 50% variasi dalam tingkah laku prososial dapat diwariskan (Rushton dkk., 1986; Rushton & Bons, 2005). Rushton juga menyatakan bahwa altruisme adalah bagian dari faktor umum kepribadian, sebagai puncak dari hierarki kepribadian (Rushton, 1985, 1995; Rushton, Bons, & Hur, 2008; Rushton & Irwing, 2011). Dalam kenyataan sehari-hari, dapat disaksikan tingkah prososial memiliki banyak “wajah” dan bentuk. Dapat disaksikan juga bahwa setiap orang memiliki repertoar sendiri-sendiri dari tingkah laku prosial, serta menampilkannya dengan beragam cara yang khusus. Namun, semua itu dapat dikategorikan sebagai tingkah prososial, yaitu "tindakan sukarela yang dimaksudkan untuk membantu atau menguntungkan individu atau kelompok individu lain" (Eisenberg & Mussen 1989:3). Dari pengertian ini, dapat dipahami bahwa tindakan sosial lebih dikenali dari konsekuensi tindakan pelaku daripada motivasi di balik tindakan tersebut. Cakupan tingkah prososial luas, meliputi, di antaranya, tindakan berbagi, menghibur, menyelamatkan, dan membantu. Konteksnya juga beragam, di antaranya, konteks yang melibatkan keluarga, teman, rekan kerja, dan orang asing. Singkatnya, tingkah laku prososial adalah konstruksi yang luas dan multidimensi (Padilla-Walker & Carlo, 2014). Meskipun ada yang menyatakan bahwa perilaku prososial berbeda dengan altruisme, tetapi banyak yang memandang bahwa keduanya dapat disamakan. Perbedaan antara keduanya umumnya dalam hal aspek yang diberi penekanan. Perilaku prososial mengacu pada pola aktivitas, sedangkan altruisme adalah motivasi untuk membantu orang lain karena perhatian murni terhadap kebutuhan mereka daripada bagaimana tindakan itu akan menguntungkan diri sendiri. Terleepas dari aspek aktivitas dan motifnya, keduanya memiliki kesamaan ketika ditampilkan dalam bentuk tingkah laku. Altruisme dapat digolongkan sebagai tingkah laku prososial. Secara khusus, altruisme adalah tingkah laku prososial yang dimotivasi oleh keinginan membantu orang lain karena perhatian murni terhadap kebutuhan mereka. Dengan demikian, tingkah laku prososial dapat dipahami sebagai payung dari altruisme atau kategori tingkah laku yang mencakup altruisme. Belakangan ini studi mengenai tingkah laku prososial semakin banyak dilakukan. Kita bisa temukan di antaranya studi tentang altruisme (Farrelly 2019), kerja sama (Bhogal, 2019), heroisme (Margana dkk., 2019), fairness (Bhogal dkk., 2016, 2017), dan trustworthiness (Ehlebracht dkk., 2018). Semakin banyaknya studi mengenai tingkah laku prososial mengindikasikan pentingnya pemahaman dan pengetahuan mengenai tingkah laku prososial, sekaligus menonjolnya fenomena itu sehingga penting untuk dieksplorasi secara empirik. Tingkah laku yang dapat digambarkan sebagai prososial termasuk kecenderungan simpati dan kekhawatiran terhadap orang lain dan bertindak dalam pendekatan untuk membantu atau menguntungkan orang yang berbeda. Ini terlihat dalam kehidupan sehari-hari, beberapa orang lebih prososial daripada yang lain. Anak-anak dan orang dewasa yang prososial memiliki kecenderungan untuk cenderung berperasaan terhadap orang lain. Tampaknya ada beberapa kesinambungan dalam tanggapan prososial sejak usia yang cukup dini. Di studi-studi lainnya, tingkah laku prososial dijelaskan dalam kaitannya dengan emosi dan well-being individu lain dan juga untuk diri sendiri. Beberapa studi menunjukkan bahwa tingkah laku prososial sebagian besar didasarkan pada keadaan dan situasi orang yang menampilkannya juga pengalaman masa lalunya. Ditemukan bahwa pengalaman juga menentukan perilaku prososial seseorang. Meski sudah banyak penelitian terhadap tingkah laku prososial dilakukan sejak Hartshorne dan rekan-rekannya meneliti gejala ini, masih banyak celah yang tersisa dalam pemahaman kita tentangnya. Kita ditantang untuk melakukan penelitian lebih jauh lagi mengenai prososialitas. Situasi dunia saat ini yang sangat membutuhkan sifat dan tingkah laku prososial menegaskan adanya keperluan pengetahuan lebih dalam tentang bagaimana sifat dan tingkah itu dapat dikembangkan dan lebih banyak muncul. Untuk itu, kita perlu memikirkan arah masa depan penelitian terhadap tingkah laku prososial dan faktor-faktornya. Mengingat sifatnya yang multidimensional, pemahaman mengenai tingkah laku prososial membutuhkan kajian yang lebih rinci dan menyeluruh. Diperlukan ide konseptual yang dapat menggerakkan karya ilmiah di bidang tingkah laku prososial secara substansial agar dapat memberikan arahan untuk jalan baru bagi penelitian masa depan terhadap tingkah laku prososial, beserta perkembangan dan faktor-faktornya. Dari sudut dan aspek mana saja tingkah laku prososial dapat diteliti di Indonesia? Penelitian mengenai faktor-faktor apa yang memprediksi perilaku prososial masih bisa dan perlu diperdalam. Hal itu dapat dilakukan dengan menggunakan model kecerdasan emosional atau dari sudut karakteristik tingkah laku prososial yang bersifat multidimensi. Penelitian juga dapat dilakukan dengan melihat pada aspek perkembangan, seperti mengeksplorasi kemurahan hati pada anak-anak, remaja, orang dewasa, dan lanjut usia. Terkait dengan pengenalan dan pengukuran tingkah laku prososial, studi mengenai pengukuran gejala ini juga perlu dikembangkan, mencakup validitas dan adaptasi instrumen yang sudah ada, atau konstruksi alat ukur baru. Usaha-usaha komprehensif masih diperlukan untuk menemukan sifat psikometrik yang kuat dari alat ukur tingkah laku sosial dalam berbagai wajah dan bentuknya. Belakangan, pendekatan evolusioner untuk banyak digunakan memahami perilaku prososial. Hal ini juga perlu dikembangkan di Indonesia. Dalam ranah Psikologi Evolusioner, perdebatan masih berlangsung, sebagian besar berkaitan dengan usaha menemukan bukti bahwa tingkah laku prososial merupakan instrumen untuk adaptasi yang terkait dengan pemilihan pasangan, perkawinan, reproduksi, dan usaha mempertahankan spesies. Dukungan lebih lanjut bagi pendapat yang menyatakan bahwa faktor-faktor seperti daya tarik fisik mempengaruhi tingkah laku prososial dalam berbagai konteks masih diperlukan. Dari aspek fisiologis dan neurologis, ada pandangan mengenai pengaruh pemberian hadiah dan mendapatkan jasa baik dari orang lain terhadap konektivitas antarsaraf di otak. Hal ini memberi pemahaman baru mengenai hubungan sistem saraf dan tingkah laku prososial, juga memberi pemahaman mengenai dasar neurologis antara pemberi dan penerima dalam situasi saling menolong. Studi tentang bagaimana perilaku prososial memoderasi atau memediasi perilaku dalam kelompok dan antarkelompok, serta kaitannya dengan interaksi antara kelompok sosial yang berbeda dan kehidupan bersama yang damai juga masih perlu dilakukan. Sekali lagi, saat ini, kebutuhan studi mengenai tingkah laku prososial sangat tinggi. Dalam keseharian, tak jarang terdengar orang-orang menyatakan bahwa sepertinya saat ini kita hidup dalam masyarakat yang kurang memiliki tingkah laku prososial. Barangkali pernyataan semacam itu tidak sepenuhnya sesuai dengan kenyataan, tetapi itu mengindikasikan adanya kebutuhan yang tinggi akan tingkah laku prososial, atau dapat dikatakan juga, ada deprivasi tingkah laku prososial. Jika kita menerima pandangan Rushton dkk. (2008), bahwa sifat prososial dan altruisme adalah bagian dari faktor umum kepribadian yang merupakan puncak dari hierarki kepribadian, maka mengembangkan sifat dan tingkah laku prosial, terutama altruisme, merupakan upaya mengembangkan kualitas kemanusiaan yang lebih baik. Tingkah laku prososial dan altruisme yang didasari oleh empati sangat vital untuk berfungsinya masyarakat dan menghasilkan perubahan-perubahan positif yang memajukan kehidupan manusia. Psikologi sosial sebagai ilmu yang mempelajari tingkah laku dan proses mental dalam konteks sosial, punya potensi untuk membantu, melakukan penelitian yang hasilnya dapat digunakan untuk meningkatkan perilaku baik, menggugah, dan memperbanyak tampilnya tingkah laku prososial dan altruisme. Hasil-hasil penelitian psikologi sosial atas fenomena ini nantinya diharapkan dapat digunakan untuk memfasilitasi dan meningkatkan interaksi sosial yang positif, meningkatkan mutu hubungan sosial dan budaya yang mengedepankan kerja sama untuk kesejahteraan bersama. Salah satu harapan terdekat yang ingin dijaga: setelah berhasil melewati pandemi covid-19, tingkah laku prososial dan altruisme bertahan, bahkan meningkat.
CITATION STYLE
Takwin, B. (2021). Catatan Editor: Mengembangkan penelitian tentang tingkah laku prososial dan altruisme. Jurnal Psikologi Sosial, 19(1), 3–6. https://doi.org/10.7454/jps.2021.02
Mendeley helps you to discover research relevant for your work.