Indonesia telah memiliki undang-udang ekstradisi nasional (selanjutnya disingkat: UUEN) dengan diterima dan disahkannya RUU Ekstradisi oleh Dewan Perwakilan Rakyat pada tanggal 18 Desember 1978. Jauh sebelumnya, yakni pada tanggal 7 Januari 1974, telah ditanda tangani perjanjian ekstradisi antara Indonesia dan Malaysia (selanjutnya disingkat: PEIM) dan pada tanggal 10 Februari 1976 juga telah ditanda tangani perjanjian ekstradisi dengan Pilipina (selanjutnya disingkat : PEIP). Kedua perjanjian ekstradisi ini telah diratifikasi dan diundangkan masing-masing dengan Undang-undang Nomor 9 tahun 1974 dan Undang-Undang Nomer 10 tahun 1976 Pasal 5 ayat 1,2 dan 3 UUEN, pasal 3 ayat 1 PEIM dan pasal V A & B PEIP memuat ketentuan tentang Kejahatan Politik, yang pada dasarnya menyatakan bahwa permintaan penyerahan akan ditolak apabila kejahatan yang dijadikan sebagai dasar/alasan untuk meminta penyerahan adalah kejahatan politik. Sedangkan pasal 5 ayat 4 UUEN, pasal 3 ayat 2 PEIM dan pasal V C PEIP mempersempit ruang lingkup kejahatan politik dengan mengesampingkan kejahatan pembunuhan atau percobaan pembunuhan Kepala Negara atau anggota keluarganya dari kejahatan politik. Dengan demikian, bagaimanapun juga kejahatan pembunuhan atau percobaan pembunuhan (menghilangkan nyawa atau percobaan menghilangkan nyawa) Kepala Negara atau anggota keluarganya, bukan merupakan kejahatan politik. Inilah yang di dalam ekstradisi dinamakan "Klausula Attentat"
CITATION STYLE
Parthiana, W. (1980). SEDIKIT CATATAN TENTANG “KLAUSULA ATTENTAT” DALAM PERUNDANG-UNDANGAN EKSTRADISI INDONESIA. Jurnal Hukum & Pembangunan, 10(3), 239. https://doi.org/10.21143/jhp.vol10.no3.815
Mendeley helps you to discover research relevant for your work.