Buku Filsafat Anti-Korupsi setidaknya memberi wawasan akar perilaku tindak korupsi. Darisitu diharapkan manusia mengenal sisi gelap dalam dirinya, dan sebagai jalan setelah mengenalsisi gelap yaitu manusia perlu melakukan transendensi diri. Wattimena, yang juga seorangpengajar di Fakultas Filsafat UNIKA Widya Mandala, Surabaya (seturut waktu diterbitkannyabuku ini), menjelaskan transendensi diri sebagai berikut: “…saya menyarankan, agar kita semuabelajar untuk mengenali dorongan-dorongan berkuasa, berburu nikmat, gejolak sisi-sisi hewani,kemalasan berpikir, dan kekosongan jiwa kita sebagai manusia. Semuan itu harus diakui dandikenali. Setlah itu kita perlu untuk membangun niat, komitmen, serta teknik untuk menata danmalampaui sisi-sisi gelap yang bercokol di dalam diri kita, maupun diri semua manusia tersebut.”(halaman 201) Lantas, tidak asing manakala simbol korupsi, atau luasnya kejahatan, menunjuk pada duniahewan (tikus, kucing, ular, dsb). Pula menunjuk pada kenikmatan (dasi, mobil mewah, dsb),kekuasaan (sionggasana, raja, dsb). Setidaknya, masih terdapat beragam simbol bagi korupsi.Dari situ sisi-sisi gelap kian nampak, dan dari situ pula manusia kian dikenalkan pada berbagairepresentasi kekuatan gelap yang bercokol dalam dirinya, meski tetap menyisakan sisi gelap yangtak tertembusi, selain juga – seturut pemahaman saya - kita diajak menciptakan simbol bagiusaha dalam melakukan pelampauan/transendensi diri. Katakanlah, simbol-simbol positif.
CITATION STYLE
Widyatmoko, F. (2014). Filsafat Anti-Korupsi. DeKaVe, 7(1), 81–83. https://doi.org/10.24821/dkv.v7i1.889
Mendeley helps you to discover research relevant for your work.