Kelangkaan lahan untuk dijadikan Tempat Pemrosesan Akhir (TPA), memicu berkembangnya pemanfaatan dan pengadaan TPA bersama (TPA Regional) oleh beberapa kota/kabupaten yang letaknya berdekatan. Namun dalam pelaksanaannya TPA Regional sering kurang efektif antara lain akibat struktur kelembagaan yang besar tapi miskin fungsi, koordinasi yang kurang antar dan inter lembaga Pemerintah Daerah, masih adanya tumpang tindih tugas dan fungsi kelembagaan antara kabupaten yang satu dengan kabupaten yang lain bila terjadi permasalahan. Metode pelaksanaannya dimulai dengan identifikasi permasalahan persampahan, pengolahan data sekunder dan data primer menggunakan teknik analisis manajement SWOT (strengths, weakness, opportunities and threats) untuk menentukan sistem kerjasama kelembagaan regional. Berdasarkan analisa SWOT lembaga pengelola yang terbaik adalah Unit Pelaksana Teknik Daerah (UPTD) provinsi. Keberadaan UPTD sangat menguntungkan karena UPTD tetap dalam kendali dinas terkait dan mudah untuk mengontrol pelaksanaannya di lapangan. Kabupaten/ kota yang ikut serta dalam TPA Regional dapat mengirim sampah ke lokasi TPA dengan hanya dibebankan tipping fee. Pengangkutan sampah dari sumber sampah ke TPA atau dari sumber sampah ke depo (stasiun pemindahan) tetap menjadi tanggung jawab Dinas Kebersihan kabupaten/ kota masing-masing. Salah satu alternatif pengelolaan TPA Regional adalah UPTD dengan pola pengelolaan keuangan Badan Layanan Umum Daerah (BLUD).
CITATION STYLE
Anggraini, F. (2011). Aspek Kelembagaan pada Pengelolaan Tempat Pemrosesan Akhir Sampah Regional. Jurnal Permukiman, 6(2), 78. https://doi.org/10.31815/jp.2011.6.78-84
Mendeley helps you to discover research relevant for your work.