Gap empiris dan gap yuridis dalam penyitaan harta kekayaan tersangka yang dilakukan oleh penyidik pajak di Indonesia harus segera ditangani karena berpotensi menyebabkan timbulnya permasalahan hukum pada masa yang akan datang. Berdasarkan metode yuridis normative dilakukan melalui inventarisasi bahan hukum primer, bahan hukum sekunder, dan bahan hukum tertier, dihasilkan dua kesimpulan. Pertama, penyitaan harta kekayaan tersangka dalam tindak pidana di bidang perpajakan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 44 ayat (2) huruf j UU KUP masih menyisakan kekosongan hukum dan sekaligus mengabaikan mekanisme checks and balances dalam penilaian, pemeliharaan, pengelolaan, dan/atau lelang pasca penyitaan harta kekayaan tersebut dilakukan oleh penyidik pajak. Kedua, peran juru sita pajak pasca penyitaan harta kekayaan tersangka dilakukan oleh penyidik pajak lebih mencerminkan keadilan, kepastian hukum, dan kemanfaatan public terhadap para aktor terlibat dalam penyitaan dan pemulihan kerugian pada pendapatan negara tersebut. Disarankan pembaharuan UU Penagihan Pajak dalam hal penambahan kewenangan juru sita pajak di Indonesia serta pembuatan Peraturan Pemerintah atau sekurang-kurangnya Peraturan Menteri Keuangan yang mengatur tentang banyaknya kekosongan hukum pasca penyitaan harta kekayaan tersangka dilakukan oleh penyidik pajak.
CITATION STYLE
Rajagukguk, P., & Kuntonegoro, H. T. (2022). TAX BAILIFF ROLES POST ASSETS CONFISCATION ON SUS-PECT OF TAX CRIME IN INDONESIA. Journal of Tax Law and Policy, 1(2), 29–47. https://doi.org/10.56282/jtlp.v1i2.97
Mendeley helps you to discover research relevant for your work.